Mari dilanjutttt… 😁
Setelah jalan sangat santai menyusuri track tadi, sampailah kami di Goa Jepang. Pintu yang tidak terlalu lebar, gelap yang pekat, dan jalan di dalam goa yang masih beralas tanah, membuat saya agak ‘malas’ masuk ke dalam. Bukan, bukan takut, cuma males aja. Hehe ngeles.. Ngga tau tuh, bawaannya gak tertarik aja untuk masuk ke goa Jepang ini.

Pintu tembusan kecil, agak ke sebelah atas bukit. Mungkin sebagai pintu rahasia atau untuk mengintai musuh
Saya memutuskan ngga usah masuk deh, ini kan ceritanya hiking bukan uji nyali. Lalu kami kembali menyusuri track. Pemandangan yang terhampar cukup memanjakan mata. Sesekali ada pedagang makanan yang menawarkan dagangannya, mulai dari pedagang jagung bakar, ketan bakar, buah potong, es potong, cireng. Hnyeeemm!! Jajan dulu ah, karena kesejahteraan otak dimulai dari kesejahteraan perut. Eh, ngga usah dicari itu teorinya siapa.

Salah satu pedagang yang saya temui. Melihat ibu ini jualan ditemani anaknya yang sedang tertidur pulas di keranjang itu rasanya gimanaaa..
Setelah jalan sekitar 100 meter dari Goa Jepang tadi, kami tiba di kawasan Goa Belanda. Untuk keterangan Goa Jepang dan Goa Belanda, baca dulu di postingan sebelumnya yah, biar nyambung kita ngobrolnya 😀
Lucu memang lidah orang Sunda ini, kadang kebalik-balik kalau ngomong p, f, dan v. Lidah saya yang settingannya Sundanese juga kadang begitu. Bhahaha.. Teman saya kalau manggil Val jatohnya jadi ‘Pal’ atau ‘eMpal’. Mungkin slogan tadi jika diucapkan sesunda-sundanya akan berbunyi “pandalisme tidak membuat terkenal, hanyalah kreatipitas yang tidak terfelajar” dan akan sangat cocok jika diucapkan oleh Picky Vrasetyo. 😛
Setelah ber-hompimpa alaium gambreng dan dimenangkan oleh Val, masuklah kami ke goa ini dengan terpaksa. Bau pengap dan lembab khas goa menyeruak ketika kami masuk. Hanya di beberapa ruang tercium bau kelelawar.
Pada langit dan dinding goa juga terlihat beberapa lumut dengan warna hijau tua. Melihat lumut itu mengingatkan saya pada satu komunitas maksa dengan nama ‘Ijo Lumut’ kepanjangan Ikatan Jomblo Lucu Imut. Ciiiihhh.. 😀
Jalanan di goa Belanda ini sudah disemen dan tidak berupa tanah seperi di goa Jepang. Jalanannya lebih lebar dan pengunjungnya pun lebih ramai. Sepanjang goa terdapat besi-besi pengait untuk menggantung lampu penerangan pada masa itu, atau pun untuk kabel penyambung radio. Di sepanjang jalur tengah juga terdapat rel kereta kecil yang dulu berfungsi untuk mengangkut mesiu karena goa ini juga pernah dipakai sebagai gudang mesiu oleh tentara Indonesia.

Lorong kecil untuk persembunyian. Di beberapa tempat sengaja dibuat buntu ujungnya, untuk mengecoh musuh
Kalau anda tanya ada apa di dalam lorong sana, maaf saya harus jawab tidak tau, karena gelap yang teramat pekat. Ini pun hanya beberapa foto yang berhasil saya ambil ketika di dalam goa, karena shutter kamera tidak bereaksi ketika ditekan, akibat tidak adanya cahaya sama sekali jadi gak bisa fokus. Bingung deh kalimat penjelasannya..
Dan saya malah antusisas motoin, lupa kalau jaman dulu interogasinya pasti pakai cara sarkasme (dipukuli, disetrum, dicabuti kuku *glek*). Setelah keluar baru ngeh, berarti sama aja itu ruang buat penyiksaan. >_<”
Memang auranya juga agak gak enak di Goa Belanda ini, tapi entah kenapa kalau Goa Jepang lebih berasa mistis sehingga saya enggan sama sekali untuk masuk. Mistis ya, bukan erotis. Kalo itu sih Depe.
Setelah puas meng-goa, kami memutuskan pulang. Di tengah jalan pulang ketemu bapak penjual air gula aren. Penasaran pengen nyobain, saya berhenti dulu. Bapak yang umurnya sudah hampir tiga perempat abad tapi masih terlihat gagah ini melayani pembeli dengan ramah dan kadang mengajak ngobrol dengan bahasa Sunda yang haluuuus, sampai kadang saya ngga ngerti. Sesekali dia menghisap rokok cerutu di tangan kirinya. Nangkep sedikit dari cerita si bapak, bahwasanya dia sendirilah yang tiap-tiap hari memanjat pohon arennya. Lalu saya tanya, koq di air aren ada bau asapnya? Ya karena di pohon aren banyak semutnya, jadi sebelum diambil, diusir dulu semut-semutnya pakai asap. Ya, sesimpel itu jawabannya! 😀 Entah pengetahuan saya yang kurang.

Dalam segelas air aren ini terdapat tetesan keringat si bapak tua. Rasanya? Manis campur bau asap plus sedikit kecut
Mencapai setengah perjalanan pulang, Val mulai mengeluh kecapekan. Melihat gelagat yang naga-naganya akan mengancam kemaslahatan betis saya, saya iming-imingi dia dengan sebuah jagung bakar. Hasilnya?? Lupa tuh dia capeknya! Malah asik gerogotin jagung sejalan-jalan. Hahaa.. Gampang sekali dialihkan anak ini.

Suka sekali melihat pemandangan ini. Sebuah warung sederhana dikelilingi pohon pinus yang disusupi bau jagung bakar yang sedang dibakar di sebelah warung.. Mengingatkan saya akan rumah nenek. Entah neneknya siapa..
Gitu deh, cerita balada emak-emak yang ngajak anaknya hiking. Seru kan?! Engga?? Ah gak apa-apa.. Yang penting saya tau sampai mana batas kemampuan anak saya. Besok-besok kita ke Semeru ya, nak! Kalau boleh minjem istilahnya papa Bebi, ibunda ucapkan: MBSK, Mamah Bangga Sama Kamu! Jhiahahaa.. Der ah, bade permios sim kuring teh. Marangga sadayana!! Hatur nuhun anu parantos maraca, sing diberkahan ku Gusti. Aminnn.. 🙂
PERTAMAX!!!
Hati-hati ya ESTER APRILLIA kalau naik-naik pohon!!
LikeLike
Km kerja di pom bensin ron skrg? Mulai dari nol ya mas..
Iiiihh mangkih-nya loh yg nasihatin, perhatian banget!! 😊
LikeLike